Pada suatu waktu, ada seorang pengusaha yang cukup sukses di sebuah kota. Dia sudah berkeluarga Suatu saat sang pengusaha jatuh sakit, satu per satu pabrik kepunyaannya dijual. Harta keluargapun terkuras untuk berbagai biaya pengobatan sang pengusaha. Hingga merekapun harus pindah ke pinggiran kota dan membuka rumah makan sederhana. Sang suami yang adalah pengusaha pun telah tiada. Beberapa tahun kemudian, rumah makan itu pun mesti berubah menjadi warung makan yang lebih kecil sebelah pasar.
Sesudah lama tak mendengar kabarnya, sekarang setiap malam tampak sang istri mantan pengusaha yang telah berpulang ke Surga, dan dengan dibantu oleh anak serta menantunya menggelar tikar berjualan lesehandi alun-alun kota. Cucunya sudah beberapa. Orang-orang pun masih mengenali masa lalunya yang berkelimpahan. Akan tetapi, ia tidak pernah kehilangan senyumnya yang tegar pada saat meladeni para pembeli. Wahai ibu, bagaimana kau sedemikian kuat?
“Harapan nak! Jangan pernah kehilangan harapan. Bukankah seorang guru dunia pernah berkata, karena harapanlah seorang ibu menyusui anaknya. Oleh sebab harapanlah kita menanam pohon meskipun kita tahu kita tak kan sempat memetik buahnya yang ranum bertahun-tahun kemudian. Sekali kamu kehilangan harapan, kamu akan kehilangan seluruh kekuatanmu untuk menghadapi dunia“.